Di awal-awal menjelang puasa Ramadhan kita selalu saja dihadapkan pada perbedaan penetapan Bulan suci Ramadhan (dan biasanya berimbas pada perbedaan Syawal). Ormas Muhammadiyah menetapkan awal Ramadhan berdasarkan hisab. Sedangkan ormas NU menetapkan awal Ramadhan dengan rukyat (baca:rukyah). Masih banyak organisasi lain yang mempunyai penghitungan sendiri dan melaksankan ibadah berdasarkan keputusan organisasi tersebut. Sementara itu pemerintah lebih mempertimbangkan kepentingan politis dalam penetapan Ramadhan.
Dari sekian banyak ormas, NU dan Muhammdiyah yang paling mencolok dalam keputusan penetapan awal ramadhan. Wajar, mereka merupakan dua organisasi islam terbesar di negeri ini. Alhamdulillah, untunglah tahun ini (sepertinya) tidak terjadi perbedaan diantara kedua ormas besar itu.
Dengan tidah bermaksud ingin menyalahkan pemerintah, NU, Muhammadiyah, ataupun ormas Islam lain yang mengeluarkan penetapan awal Ramadhan yang berbeda-beda. Tapi terbersit suatu ketidak konsistenan di antara mereka yang menolak penetapan awal Ramadhan berdasarkan hisab dengan alasan bahwa yang diperintahkan oleh Rasulullah dalam menetapkan bulan Ramadhan hanya dengan melihat bulan (rukyatul hilal).
Pertama, Rasulullah menetapkan waktu-waktu shalat berdasarkan poisisi matahari. Ketika terbit fajar, tibalah shalat Subuh. Ketika matahari sepenggalahan naik, tibalah shalat Dhuha. Ketika matahari berada dipuncak, tibalah shalat Dzuhur. Ketika matahari berada di sebelah barat dan tinggi tubuh kita sama dengan panjang bayang-bayang tubuh kita, saatnya shalat ashar. Ketika matahari terbenam, saatnya shalat maghrib, dan ketika warna kemerah-merahan di sebelah barat menghilang, jatuhlah shalat Isya.
Kedua, Rasulullah menetapkan waktu Puasa dan Idul Fitri berdasarkan penampakan bulan. Dengan melihat dari ketinggian apakah hilal/bulan sudah tampak atau belum. Jika ada dua orang beriman menyatakan melihat hilal, maka tibalah saatnya waktu berpuasa. Jika hilal tidak nampak, maka puasa dilakukan keesokan harinya.
Penentuan waktu shalat berdasarkan posisi matahari sungguh sangat merepotkan kita. Hal itu sangat wajar digunakan pada masa Rasulullah karena pada zaman itu belum ada jam ataupun penunjuk waktu yang lebih akurat. Dengan kemajuan teknologi, para ilmuwan bisa mengkalkulasikan posisi matahari dengan tepat, presisi dan akurasinya. Kemudian, dibuatlah jadwal shalat yang semua itu berdasarkan perhitungan (hisab). Bahkan jadwal shalat berlaku selama-lamanya selama matahari berada di manzilahnya, lengkap dengan detik dan menitnya.
Tidak lagi kita temu orang hendak shalat terlebih dahulu melihat matahari, kemudian baru azan. Tidak lagi kita temui perbedaan yang mencolok antara Muhammadiyah, NU, maupun ormas lain. Semua sepakat menggunakan waktu berdasarkan perhitungan tadi.
Nah, masalahnya mengapa untuk penetapan awal bulan Ramadhan mereka menolak menggunakan perhitungan? Untuk penetapan shalat, mereka setuju dengan perhitungan. Padahal dari sisi kekakuratan, jelas-jelas yang menggunakan perhitungan, dengan ilmu dan teknologi, lebih tepat dibandingkan dengan melihat langsung. Di sinilah letak ketidak konsistenan yang dimaksud.
Jika kita mau menggunakan ilmu dan teknologi, dengan hisab (perhitungan matematika dan astronomi), jangankan awal bulan Ramadhan tahun ini, bahkan awal bulan Ramadhan sepuluh tahun yang akan datangpun telah diketahui secara akurat sejak saat ini. Tinggal disepakati saja berapa derajat posisi bulan di atas ufuq untuk bisa dikatakan bulan baru. Tidak perlu ribut-ribut lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar