KOMPAS.com - Dari segi asal-usul kejadiannya, Bulan tidak dapat dipisahkan dari Bumi. Salah satu teori yang kini banyak dianut adalah bahwa Bulan terbentuk dari sempalan material Bumi akibat ditumbuk oleh benda angkasa ukuran besar, mungkin sebesar Mars. Karena model ini lebih mampu menjelaskan terbentuknya Bulan dibandingkan dengan teori-teori lain, skenario tumbukan planeter ini merupakan yang paling banyak diterima di kalangan ilmiah (Gabriel Gache, Science News Editor, 20 Desember 2007).
Tentu masih ada rincian penjelasan dari proses tersebut, yang menghasilkan satelit alam relatif amat besar terhadap ukuran planet induknya. Muncul pula dugaan, materi Bulan tersusun 80 persen dari benda penumbuk dan 20 persen dari Bumi. Namun, ada juga ilmuwan lain yang mengatakan sebaliknya.
Tentu masih banyak yang dapat dikisahkan dari riwayat lahirnya Bulan. Namun, semangat mempelajari riwayat dua benda langit yang ditakdirkan untuk menyusuri waktu bersama-sama ini bukan berlangsung satu arah saja. Misalnya studi hanya diarahkan untuk mempelajari Bulan. Dalam kenyataannya, dari studi tentang Bulan pula banyak dipelajari serba-serbi mengenai Bumi.
Bumi dari Bulan
Di Bulan, ternyata ada berton-ton batuan dan debu yang pada masa silam ditembakkan dari Bumi akibat tumbukan asteroid. Pada batuan dan debu tersebut ternyata juga terkandung rahasia mengenai planet Bumi pada keadaan awal dan juga asal-usul kehidupan (Science Tuesday, 23/7/2002).
John Armstrong dari Universitas Washington di Seattle, AS, menyebut bahwa Bulan merupakan loteng Bumi sehingga kita harus sering menengok untuk mendapatkan benda berharga yang tersimpan di sana. Informasi yang dikandung pada benda-benda itu tak dapat ditemukan di tempat lain.
Dari sampel materi yang ada di Bulan, menurut Armstrong, dapat diketahui apa yang ada di Bumi 3,9 miliar sampai 4,0 miliar tahun silam, bagaimana keadaan awal atmosfernya saat itu, juga kerak dan permukaan buminya. Bisa juga ditelusuri bagaimana kehidupan mulai berevolusi.
Misteri ukuran
Di luar ”riwayat bersama” Bumi-Bulan, ada satu hal lain yang dapat menggugah kita mengenai Bulan, yaitu seputar terjadinya Gerhana Matahari Total (GMT), yang merupakan salah satu fenomena alam yang paling indah.
Saat GMT terjadi, tampaklah bahwa ukuran piringan Matahari dan Bulan demikian pas berimpit. Kalau ada sepercik sinar matahari bisa menerobos, itu karena ia lolos melewati permukaan Bulan yang bergunung-lembah.
GMT bisa terjadi karena kebetulan yang luar biasa. Matahari kurang lebih 400 kali lebih lebar, tetapi jaraknya juga 400 kali lebih jauh. Oleh karena itu, keduanya juga tampak sama ukuran di langit. Ini situasi yang amat unik di Tata Surya yang terdiri dari 8 planet dan 166 bulan yang sejauh ini diketahui. Bumi juga satu-satunya planet yang bisa menopang kehidupan. Apakah semua itu kebetulan murni? (New Scientist, 31 Januari 2009).
Di luar dugaan itu, kebetulan atau bukan, Bulan merupakan obyek yang berbeda asal-usulnya dibandingkan dengan bulan-bulan planet lain, seperti Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus. Jika Bulan kita diyakini tercipta karena Bumi ditumbuk benda langit besar, bulan-bulan planet luar tercipta dengan cara lain, yaitu dari penggumpalan material di medan gravitasi planet induk atau penangkapan benda kecil yang lewat oleh gravitasi planet.
Berkah Bulan
Dengan ukuran yang relatif besar itu, Bulan juga berperan besar dalam mendukung eksistensi kehidupan di Bumi. Ketika Bumi berpusing memutari sumbunya, ia cenderung untuk bergoyang bebas, kadang terpengaruh oleh tarikan Matahari juga. Ternyata, tangan gravitasi Bulan yang tak terlihat dengan halus meredam goyangan pusingan Bumi tadi. Ini mencegah instabilitas rotasi, yang kalau tak diredam bisa menimbulkan perubahan dramatik iklim. Instabilitas bisa membuat kondisi kondusif yang diperlukan untuk munculnya kehidupan di planet kita terganggu.
Tentu dukungan lain bagi kehidupan juga berupa posisi Bumi yang ada di zona tertinggali (habitable zone) di mana ada cukup banyak air cair. Namun, peranan Bulan, sekali lagi, tidak bisa diremehkan.
Akan tetapi, sejak terjadi impak yang melahirkannya, Bulan terus menjauh dari Bumi dengan laju sekitar 3,8 sentimeter setiap tahun. Dinosaurus tidak melihat gerhana seperti kita karena Bulan pada kurun 200 juta tahun silam terlalu dekat, hingga ukurannya cukup besar di langit untuk menghalangi keseluruhan Matahari.
Namun, penghuni Bumi dalam tempo beberapa ratus juta tahun dari sekarang juga tidak akan melihat GMT sama sekali karena Bulan akan tampak terlalu kecil di langit.
Di sini tampaknya ada dua keberuntungan yang dinikmati oleh manusia sekarang ini. Pertama karena ada Bulan yang menjauh dari sejak saat terciptanya. Yang kedua, karena terjadinya evolusi kecerdasan kehidupan.
Oleh karena itu, tulis Marcus Chown di New Scientist, kalau beruntung, Anda bisa menyaksikan GMT dalam hidup Anda, pikirkanlah hal ini: bahwa Bulan besar itu boleh jadi alasan mengapa Anda ada. Itulah falsafah yang sarat dengan paham antropik bahwa kita ada adalah untuk menyaksikan semua keajaiban alam di depan kita.
Pengujung Ramadhan
Kini, ketika Ramadhan 1430 Hijriah semakin tua, Bulan dalam siklus mengelilingi Bumi telah mendekati posisi Bulan Baru saat posisi Matahari-Bumi-Bulan segaris. Menurut perhitungan astronomi modern, Bulan Baru itu akan jatuh pada tanggal 18 September 2009 pukul 18.45 Greenwich Mean Time, atau pukul 01.45 WIB tanggal 19 September.
Kita pun berharap, pada petang hari, 19 September, Bulan telah meninggalkan momen konjungsi dan Matahari-Bumi-Bulan sudah tidak segaris lagi. Artinya, bulan baru telah lahir… sehingga tak keliru apabila 1 Syawal jatuh tanggal 20 September 2009.
Demikianlah manusia belajar banyak dari Bulan dari masa silam, dan dari Bulan yang dekat itu pula masih ada banyak hal yang dapat kita pelajari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar