Kamis, 17 September 2009

Nanoteknologi Ternyata Punya Efek Samping

TEMPO Interaktif, Jakarta - Teknologi desain dan manipulasi material yang hingga ribuan kali lebih kecil daripada lebar sehelai rambut (nanoteknologi) dianggap sebagai terobosan untuk menciptakan material ringan namun lebih kuat, menarik, bahkan lebih enak.

Saat ini, lebih dari 600 produk melibatkan nanomaterial sudah beredar di pasar. Kebanyakan ada di bidang kesehatan dan kecantikan. Beberapa lainnya juga digunakan untuk terapi medis, bahan aditif makanan dan elektronik.

Masalahnya, semua yang lebih itu belum tentu aman. Beberapa hasil studi menyimpulkan, obyek berukuran nano memiliki efek yang berbeda pada tubuh. Begitu kecilnya, nanopartikel dalam darah juga dikhawatirkan mampu menembus membran otak dan meracuni otak.

Sebuah partikel biasanya dikategorikan nano jika berdiameter 1 sampai 100 nanometer atau sekitar satu per 10 ribu diameter rambut manusia. Ciri lainnya, partikel itu memiliki sifat alami yang tidak dimiliki material tandingannya yang berukuran "normal".

Ciri yang kedua itulah yang dieksplorasi tim dari Duke University di Durham, North Carolina, Amerika Serikat, untuk memastikan ada atau tidaknya efek samping. "Banyak nanopartikel yang diameternya lebih kecil dari 30 nanometer mengalami perubahan drastis dalam struktur kristalin mereka--perubahan yang membuat atom-atom di permukaannya berinteraksi dengan lingkungannya," Profesor Mark Weisner, ketua tim, memaparkan, lewat jurnal Nature of Nanotechnology.

Weisner menjelaskan, beberapa partikel bisa sangat reaktif terhadap zat kimia dalam lingkungan, dan bisa mempengaruhi aktivitas tertentu dalam sel. "Memang sudah ada laporan studi tentang kadar racun nanopartikel yang meningkat seiring dengan ukuran yang semakin nano, tapi masih belum pasti apakah peningkatan itu berbahaya untuk lingkungan atau keselamatan manusia."

Kepala Pusat Dampak Lingkungan dari Nanoteknologi di Duke University itu menekankan pentingnya definisi yang lebih terang tentang nanopartikel, termasuk ancamannya. "Kita harus berbicara dengan bahasa yang sama ketika mengkajinya," katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar